“Ismail Marzuki: Senandung di Ujung Revolusi”, Ceritakan Kisah Ismail Marzuki Diusia 17 Tahun

Titimangsa dan KawanKawan Media bekerjasama dengan Direktorat Perfilman, Musik dan Media Kemendikbudristek menggelar pertunjukan Di Tepi Sejarah untuk musim  kedua. Di Tepi Sejarah akan ditayangkan secara daring pada Agustus 2022 di saluran Kemendikbudristek RI, yaitu kanal Youtube “Budaya Saya” dan di  saluran televisi “Indonesiana TV”.

Di Tepi Sejarah merupakan sebuah seri monolog yang menceritakan tentang tokoh-tokoh yang ada di tepian sejarah. Mereka mungkin kurang disadari kehadirannya dan tersisih dalam catatan besar sejarah bangsa namun menjadi bagian dalam peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di Indonesia. Tahun 2022 ini Di Tepi Sejarah mengangkat kisah perjalanan lima tokoh terpilih, yaitu: Sjafruddin Prawiranegara, Kassian Chepas, Gombloh, Ismail Marzuki dan Emiria Soenassa.

Melihat antusias dan apresiasi para guru, pelajar, seniman serta masyarakat umum yang menonton pertunjukan Di Tepi  Sejarah musim pertama, Happy Salma – Pendiri Titimangsa dan produser pementasan merasa perlu meneruskan serial monolog ini, “Ada banyak sekali tokoh-tokoh yang perlu kita saksikan pergulatan dan perjuangannya. Suatu potret bagi kita untuk melihat sisi kemanusiaan dan menstimulasi kita agar  lebih matang dalam menyikapi arus informasi yang serba cepat namun seringkali mengabaikan nilai dan unsur kebenaran di era sekarang ini, ujarnya dalam press rilis yang diterima tembi.

Produser Di Tepi Sejarah dari KawanKawan Media, Yulia Evina Bhara menambahkan, “Penayangan program Di Tepi Sejarah di Indonesiana TV diharapkan menjadi jembatan pertemuan antara pelaku sejarah, baik itu tokoh politik zaman pergerakan maupun seniman-seniman, dengan penonton yang lebih luas, khususnya kaum muda.”

Ismail Marzuki: Senandung di Ujung Revolusi merupakan pertunjukan keempat serial monolog Di Tepi Sejarah musim kedua. Pentas ini diselenggarakan di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, 29-30 Juni 2022.

Senandung Diujung Revolusi – foto Yose Rianto

Ditulis bersama oleh Putu Fajar Arcana dan Agus Noor, naskah Ismail Marzuki: Senandung di Ujung Revolusi, mengisahkan momen-momen perjalanan hidup dan kreativitas Ismail Marzuki. Ia tak pernah memanggul bedil, apalagi terlibat perang fisik melawan penjajah. Sejak berusia sangat muda, ia memilih memeluk musik sebagai jalannya untuk turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Dalam proses penulisan naskah pentas, Putu Fajar Arcara menceritakan bahwa biografi Ismail Marzuki, musisi kelahiran Kampung Kwitang, Batavia, ini tak banyak ditulis. Buku-buku yang ada lebih banyak mengulas lagu-lagu karya Ismail. Sedangkan kisah hidupnya sebatas kehilangan ibu dan dua abangnya sejak kecil, lalu selintas tentang pernikahannya dengan Eulis, serta kematiannya dalam usia relatif muda.

Oleh sebab itu monolog “Ismail Marzuki: Senandung di Ujung Revolusi” ini, mendekati sosok Ismail lewat narasi-narasi yang ditemukan dalam lagu-lagunya. “Pementasan ini tidak dimaksudkan menjadi pertunjukan biografis Ismail Marzuki, melainkan sebagai upaya kreatif dalam merekonstruksi ingatan, kenangan, nostalgia, dan semangat perjuangan hidup dalam lagu-lagu itu”, ujar Putu Fajar Arcana.

Senada dengan Putu Fajar Arcana, Agus Noor yang juga menyutradarai pentas ini menyampaikan, “Keping-keping narasi yang mengikuti proses kreatif dalam lagu-lagu itu dijahit satu per satu untuk membentuk sosok Ismail yang berperan besar dalam kancah revolusi Indonesia. Ismail ibarat terus menerus bersenandung untuk mengantarkan Indonesia menuju rel yang benar dalam mengisi kemerdekaan. Lagu-lagunya hadir di ujung revolusi, justru untuk menandai Indonesia sedang memasuki era baru sebagai bangsa yang berdaulat. Karena jasanya itu, pemerintah Indonesia memberinya gelar pahlawan nasional tahun 2004”.

Pada pentas ini, sosok Ismail Marzuki diperankan oleh Lukman Sardi. Bagi Lukman Sardi, memerankan sosok Ismail Marzuki merupakan suatu kegembiraan personal, “Saya senang sekali diminta berperan sebagai Ismail Marzuki, rasanya itu seperti diminta oleh ayah saya (Idris Sardi) untuk bermain biola lagi,” ujarnya.

Lukman melanjutkan, “Ismail Marzuki adalah seorang komponis dan pemusik yang tak tergantikan. Ia sosok yang menyampaikan nilai-nilai perjuangan, imajinasi dan harapan tentang Indonesia dari sisi yang berbeda. Keindahan lagu-lagu yang diciptakan Ismail Marzuki seperti puisi yang melampaui zaman. Lirik dan melodi dalam berbagai nuansa musik melayu, jazz dan keroncong begitu lembut namun menyiratkan banyak cinta dan kasih sayang kepada negeri ini. Bagi saya, Ismail Marzuki itu nasionalis romantik”.

Pentas Ismail Marzuki: Senandung di Ujung Revolusi menceritakan bagaimana di usia 17 tahun, Ismail menciptakan lagu “O Sarinah”, yang mengajak para perempuan desa untuk giat bekerja di sawah agar dapat membangun negara. Sejak itu, dalam pasang surutnya sebagai pemusik dan juga penyanyi,  Ismail seperti tak henti mencipta lagu.

Masa kreatifnya sebagai musisi terjadi di saat penjajahan Jepang,  sampai agresi militer oleh Belanda akhir tahun 1940-an. Lagu ciptaannya yang populer seperti “Rayuan Pulau Kelapa”, “Sapu Tangan dari Bandung Selatan”, “Indonesia Pusaka”, dan “Sepasang Mata Bola”, telah menjadi inspirasi para pejuang di garis depan. Bersama kelompoknya, Ismail kerap menghibur para pejuang di tempat-tempat persembunyian mereka.

Sampai kemudian ia meninggal di usia 44 tahun, pada tanggal 25 Mei 1958, Ismail tercatat telah menciptakan lebih dari 200 lagu. Hari-harinya, sebagaimana dicatat dalam buku-buku, lebih  banyak dihabiskan untuk bermusik. Bersama serombongan pemusik, termasuk penyanyi Eulis Andjung Zuraidah yang kemudian menjadi istrinya, Ismail pernah melawat ke Singapura dan Malaya. Di sana, ia disambut bak bintang, karena lagu-lagunya terutama yang dinyanyikan dalam film “Terang Boelan” (1938), sangat dikenal di negeri jiran itu.

Suatu ketika, dalam perjalanan dari Jakarta menuju Solo, kereta sempat berhenti di Stasiun Tugu Yogyakarta. Di sinilah Ismail melihat sosok-sosok pejuang memanggul bedil untuk menuju garis depan pertempuran. Ia melihat mata-mata mereka yang tajam dan penuh semangat tempur. Dan ia ingat mata Eulis, istrinya yang ditinggalkannya di Jakarta. Kemudian lagu “Sepasang Mata Bola” diciptakan Ismail setelah bepergian ke Solo bersama sahabatnya Yusuf Ronodipuro untuk merayakan ulang tahun RRI pertama.

Ismail Marzuki: Senandung di Ujung Revolusi dipentaskan dengan penonton terbatas di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Rabu-Kamis, 29-30 Juni 2022 Pukul 20.00 WIB dan akan ditayangkan secara daring di saluran Kemendikbudristek RI, yaitu kanal Youtube “Budaya Saya” dan di  saluran televisi “Indonesiana TV” pada Agustus 2022.

Tags

No responses yet

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *

    ×