Bunga Bangkai 1
Betapa naifnya menjadi aku, Sadewa
Di dadaku tumbuh menjuntai
Sebuah bunga bangkai
Seseorang menanamnya beberapa hari lalu
Ia datang malam-malam
Dengan segelung kain
Yang menjutai, menutup wajah bulan
Pagi harinya
Betapa aku ingin mencabutinya
Tapi akarnya mencengkram
Erat dadaku, aku tak mampu
Tenganku lembam, tubuh melepuh.
Orang-orang lalu lalang
Satu persatu dari mata mereka
Menghunuskan anak panah ke dadaku
Ada pula yang meludah, jatuh ke mataku
Menggetarkan mendung
Hingga riuhlah hujan nan limbung
Bunga itu semakin tumbuh, Sadewa
Orang-orang makin menuding aku
Akhirnya aku diam saja
Ku rawat bunga itu dengan air mata
17 Maret 2020
Bunga Bangkai 2
Bunga bangkai itu tumubuh
Lebih cepat dari waktu
Menggeretak setip sakit dalam aku
Putiknya tak jua gugur bersama pilu
Aku tak tahu sudah berapa tingginya
Yang pasti kenistaanku terhimpun di dalamnya
Semakin tinggi ia
Semakin kerdillah aku
Di mata mayapada
Bunga bangkai itu, Arya
Aku tak pernah tahu
Siapa yang menanamnya
17-03-2020
Seekor Anjing
Seekor anjing menyalak
Di tikungan jalan menuju pemakaman
Semerbak cempaka di keranjangku
Tiba-tiba menghilang, tak lagi berbau
Barangkali karena bau mulut anjing itu
Aku ragu-ragu melangkah
Mata anjing itu nyalang
Aku memutar arah, mencari jalan lain
Demi menaruh cempaka yang tak lagi berbau
Pada sebuah kuburan
Seorang penyair yang mati di kepalaku
Setelah sampai
Ku tabur karangan cempaka itu
Doa-doa di usung waktu
Semoga si penyair tak lagi semenyedihkan dulu
Tiba-tiba seekor ajing tadi berlari kearahku
Ia menyalak dengan mata merah padam
Napasnya memburu gusar
Aku kembali berdoa
Kemudian ku rapal sebuah kata-kata
Ah, ada-ada saja
Si anjing terkapar hanya karena kata-kata!!
Gapura, 21 maret 2020
Kangen 2
Kini aku lebih mahir menakwil puisi
Dari pada mengilhami janji-janji
maka pulanglah
tak mampu ku sajakkan lagi
segala gemuruh dalam dada
Gapura, 2020
Tragedi Di Kamar Mandi
Aku akan selalu mencintaimu
Seperti kecintaanku pada asap-asap yang mengepul
Pisau-pisau bergigi tumpul
Sepercik darah dan segalaku yang resah
Meski cinta tak untuk diumpamakan
Tiap malam, Sayang
Saat bulan menggosok-gosokkan tubuhnya pada bayang-bayang
Aku akan membuka pintu ruangan ini
Pintu tua yang sudah lama
Diperam luka dan masa yang entah.
Ketika aku masuk
Amis darah melekat di dindingnya
Beberapa tetes belum bersih di closet
Pisau-pisau berserakan di lantai
Sedang di tanganku
Sayat-sayat luka masih mengemas usia
Di tubuh waktu
Aku tak ingin ada yang sembuh
Biar semua temani seluruh perih sakitku
Maka terkutuklah aku
Dengan segala kesilapan sangkaku
Gapura, April 2020
—
Elmira Damayanti lahir di Pulau Giliyang Kecamatan Dungkek, Kabupaten Sumenep Madura. Sekarang ia masih menyelesaikan studinya di kelas akhir MA Nasy’atul Muta’allimin Gapura Timur, Gapura Sumenep. Puisinya telah dimuat berbagai media cetak dan online.
No responses yet