Memandang Semarang
Memandang Semarang dari atas seratus kaki
Aku membaca degup jantung kota yang ritmis
Seperti tarian kaki kaki gerimis
Pada suatu sore yang melankolis
Persetubuhan bebukitan dan landai pantai
Melahirkan sekian puisi percintaan yang kerap padam
Tersebab terlalu banyak metafora terkubur dalam kedangkalan makam
Dan para penyair tersesat di ujung jalan yang kian temaram
Menatap Semarang berbekal saujana patah
Aku gagap dan mendadak perjalanan kehilangan arah
Di sini memang bukan tanah tumpah darah
Namun setidaknya jadi ruang menitipkan nafas
Dan inspirasi yang tak henti membuncah.
2020
Gending Sriwijaya
Aku ingin meminjam sepasang telingamu
Untuk merawat lagu purba
Pada titi nada gerimis
Dan alun jiwa yang magis
Aku bahkan terpaksa merogoh sukma
Untuk melanjutkan kembara
Pada halaman kitab sejarah lapuk
Lewat paragraph paragraf yang memuat dosa terkutuk
Mungkin hanya orkestra rindu
Lahir dari partitur masalalu
Namun di pintu abad ini aku gagu
Membaca bait nyanyian yang diam-diam menguliti waktu.
Palembang, 2019
Malam Kualalumpur
Kepada siapa aku menitip seribu kunang-kunang itu
Sementara kulihat punggungmu letih
Menyangga puluhan lengan beton
Yang siap mengacak-ngacak malam di suwung langit
Kemana mesti kutuju oase itu
Tempat buat sejenak memanen pantun melayu
Sementara ringgit di genggamanku raib
Oleh perniagaan dunia yang ajaib
Kemanakah alamat pulang dinihari nanti
Ketika mimpi tak sanggup kubeli
Takjua kudengar Kualalumpur sesaat mendengkur
Menemani mereka, para insomnia, setia bertugur.
Kualalumpur 2019
Aku Membaca Suara
Aku membaca suara yang kini tak ada
Tersebab rerimbunan hutan telah menguburkannya
Dan bebukitan yang takzi mmendirikan upacara
Mengibarkan bendera langit pancaroba
Barangkali hanya gema dan partitur mega
Semakin aus dimainkan angin senja
Mungkin hanya kandil tetap menyala
Walau badai letih meniupnya
Aku membaca suara yang telah sirna
Setelah sekian waktu lumpuh terpenjara
Setelah serumpun ilalang erat mengikatnya
2020
Kitab Puisi
Kitab puisi itu lorong kota
Ketika jam malam
Dan sinar rembulan aus
Terendam gerimis dari sisa langit yang hangus
Hanya aksara dan tanda
Frasa yang gagal menjelma sempurna
Kitab puisi itu
Kehangatan abu
Epos percintaan segitiga
Antara api, tungku dan seonggok kayu
2020.
——–
Heru Mugiarso, lahir di Purwodadi, Grobogan, Jawa Tengah, 2 Juni 1961. Ia menulis puisi sejak masih duduk di bangku SMP. Karya-karyanya berupa puisi, esai dan cerpen serta artikel dimuat di berbagai media lokal dan nasional. Antologi puisi tunggal yang telah terbit: Tilas Waktu (2011) dan Lelaki Pemanggul Puisi (2017). Novelnya bertajuk Menjemput Fatamorgana terbit tahun 2018. Kumpulan esainya berjudul Wacana Sastra Paragraf Budaya ( Leutikprio , 2019).
Sekitar Sembilan puluhan judul buku memuat karya-karyanya. Penghargaan yang diperoleh adalah Komunitas Sastra Indonesia Award 2003 sebagai penyair terbaik tahun 2003. Namanya tercantum dalam buku Apa dan Siapa Penyair Indonesia (2017) . Ia sebagai narasumber acara sastra pada program Bianglala sastra Semarang TV. Sehari-hari Heru bekerja sebagai dosen Universitas Negeri Semarang. Alamat rumah: Jl Bukit Kelapa Sawit IV/30-31 Perum Bukit Kencana Jaya Tembalang Semarang 50271, email : heruemge@gmail.com no HP/WA 081325745254
No responses yet