Perahu Bulan 1
ombak-ombak berlari karena rindu. jangan sentuh bila masih ada nafsu
nanti karang di hatimu bisa pecah. matahari di hatiku jadi merah
perahu nelayan tak bisa berlayar. bukan hanya karena gelombang besar
biarkan saja rindu itu sendiri. menghapus seluruh nafsu dalam diri
setelahnya dengan Perahu Bulanku. akan kujemput dirimu yang pemalu
meski tak kubawa bunga mawar ungu. yakin di hatimu lebih dari itu
Gapura, 2019
Hujan Pertama
hujan pertama yang turun pagi itu. adalah bola-bola api yang biru
seluruh rindu yang meranggasi hati. terbakar sendiri oleh gerimis sunyi
doa kita adalah biji kecambah. yang kulit kuatnya sudah mulai pecah
akar-akarnya menjalar ke puisi. tinggal menunggu ladang terbajak sepi
tak perlu menyingkirkan kerikil ini. asal bukan batu besar yang sembunyi
sebab ia harap lain bagi hujan. untuk melonggarkan laju perjalanan
matahari boleh muncul sesekali. sebab terkadang dingin seperti duri
kecambah kita telah berkembang bulan. di atas kata kelak berbuah bulan
Gapura, 2016/2020
Tak Berhenti
hujan sederas apa pun hari ini. hatiku bukan tisu ataupun tapi
dingin yang runcing hanya sebatas baju. tak seberat batu dilupakan rindu
tulang kakiku tahu cara berjalan. pintu rumah pintar melepas pelukan
kalaupun hujan tak berhenti di sawah. tubuh tak akan tenggelam dalam resah
jalan pulang menjalin tahapan hidup. sampai rumah lelampu tak lagi redup
dari jendela kamar berdesir angin. bulan kuning meloncati dada dingin
Gapura, 2017/2020
Tak Kembali
selagi angin masih terus berdesir. sekalipun lilinku tinggal sebutir
tak akan kubiarkan laut sendiri. tanpa perahu jala penangkap mimpi
selagi ombak meledak dalam dada. sekali layar dibentang ke angkasa
pantang bagiku kembali ke pelukan. bila tak ada apa pun di genggaman
yang melekat di mata bukanlah mati. yang mekar di hati hanya doa istri
yang melesat di laut hanya nyaliku. yang pulang ke rumah paling ini rindu
Gapura, 2017/2020
Di Pantai Ponjuk Padikè
ombak terus membentur batu dadaku. kita berfoto duduk di rangkang rindu
kilatan cahaya melesat ke mata. untuk mengabadikan kita berdua
setelahnya kita menyusuri tepi. betismu terlihat seputih puisi
perahu-perahu menyandarkan tubuh. setabah detak waktu ketika subuh
aku lupa melepas tangan kirimu. dari tanganku yang telanjur tersipu
matamu melihat jauh tengah laut. mataku melihat matamu tak surut
sepertinya kita lupa jalan pulang. bulan kuning berenang-renang dipandang
biar saja habis seluruh lukamu. cintaku abadi di sisa waktumu
Gapura, 2017/2020
Faidi Rizal Alief belajar menulis puisi dan cerpen sejak nyantri di Lesehan Sastra dan Budaya Kutub Yogyakarta. Pernah membacakan puisinya di Rumah Pena Kualalumpur Malaysia. Beberapa puisinya terbit di media massa seperti MAJAS, KR, Tribun Bali, dll, dan terbit di antologi bersama seperti Senyuman Lembah Ijen, Jazirah, Komunitas Negeri Poci, dll. Buku puisinya Pengantar Kebahagiaan Basabasi, Juni 2017 menjadi salah satu pemenang di Banjar Baru’s Rainy Day Literary Festival 2018 kategori Promising Writer. Alamat: Jl. Gapura, Dusun Sema Bandungan RT 02 RW 05 Gapura Tengah Gapura Sumenep Madura 69472. WA: 0852 5843 4346
No responses yet