Sriyanti S. Sastro Prayitno

Puisi Sriyanti S. Sastro Prayitno

Aku Hanya Seorang Pejalan

Aku hanya seorang pejalan
melintasi takdir dengan kaki lebam
tapi tak hendak berhenti untuk mengaduh
mencoba melenyapkan segala keluh

Jika kemarin aku berteriak dalam diam
meredam segala bentuk kekecewaan
begitulah caraku bertahan
agar langkahku tak karam

Jika dulu sedu sedanku tak henti tergugu
menangisi kebodohan di masa lalu
itulah caraku berguru
agar langkahku lepas dari ragu

Dan kinipun aku tetap berjalan
didera angin debu jalanan
terkadang hujan badai menerjang
raga letih serasa tumbang

Tapi mentari masih bercahya
takredup meski telah jelang senja
dan kaki renta tetap melangkah
meski patah-patah

Semarang, 17 Januari 2021

Ibu

Di bentang malam saat mataku tak mampu terpejam
diam-diam ribuan kenang menerjang dan menghujam
betapa jauh waktu telah kita lewati
namun tanganku tak akan pernah mampu menyelesaikan catatan ini

Harus kuakui kadang aku tak paham dengan sikapmu
tak sekali dua membuatku memendam ribuan tanya
namun setelah semua tiada
kepahaman inipun terasa sia-sia

Ketika hujan setia datang
betapa rindu ini serasa ribuan jarum menusuk hati
tak terasa ingatan melayang
rumah kecil kita di desa yang kini teronggok sepi
cerita-cerita usang
senyum dan tangis
tinggal dalam kenang

Bu,
kuyakin kau selalu ada
tersenyum saat aku tertawa
menghapus air mata saat hatiku terluka
seperti dulu ketika malam-malam kita hanya berdua
menunggu saat cucu tercinta lahir ke dunia
dengan segenap cerita bahagia
Ibu, tersenyumlah engkau di sana

Semarang, 20 Desember 2020

Balada Sekolah Di Rumah Saja

Cethar
entah apa yang disabetkan
tapi suara itu melukai dasar hati
juga cerecet suara kemarahan
membawaku tenggelam dalam jurang tak berdasar
aku terkapar dan tanpa sadar
air mata berguguran

Anak-anak memang selalu ingin tahu
apalagi pada hal-hal yang baru
dulu pinjam gawai ayah ibu
hanya boleh di waktu-waktu tertentu
pandemi membuat segalanya berbeda
setiap hari anak memegang gawai dengan mesra

Ayah bunda
apakah hanya boleh lembar demi lembar pelajaran yang harus kubaca
apakah hanya tugas demi tugas yang harus kueja
Tak bolehkah sesekali kubuka permainan
film kartun dan lain sebagainya?
Jika kau takut banyak waktuku terbuang
bimbinglah aku dengan kasih sayang
tak apa sesekali suaramu begitu keras
saat bermainku sudah kelewat batas

Tapi haruskah dengan memukul
taktahukah kau
memar luka tubuhku beberapa hari akan sirna
tapi luka batinku
akan kubawa sepanjang usia
Seperti apakah aku harus mengenangmu di hari tua

Semarang, 10 November 2020

Bulir-Bulir Hujan

Bulir-bulir hujan begitu bahagia berkejaran menghias pagi
diguyurnya melati yang tengah mekar berseri
hingga kuntumnya tak ranum lagi

Tergugu di tempiasnya
berharap ikut berlari di tengah rinainya
agar tak beda mana hujan dan air mata

Sekuntum nusa indah meneduh
tak membiarkan serbuan hujan membuatnya luruh
sebersit senyum getir
mengalir menyadarkan sebuah takdir

Tak ada yang abadi
antara tawa dan tangis
bahagia dan duka
maka bilaslah air mata

Bersama bulir-bulir hujan
sebelum tuntas rinainya

Semarang, 30 Oktober 2020

Sriyanti atau Yanti  S Sastro  Prayitno, Ibu dari empat anak ini lahir di Sragen, 5 Februari 1969. Alumnus Jurusan Kimia FMIPA UGM ini sehari-hari  bekerja sebagai dosen di Departemen Kimia Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Diponegoro, Semarang. Kegemarannya membaca mendorongnya untuk mencoba menulis, di antaranya artikel tentang wanita, kesehatan dan fiksi di majalah berbahasa Jawa. Aktif juga berkiprah di Bengkel Sastra Taman Maluku (BeSTM) Semarang. Buku antologi puisi tunggal yang pernah ditulisnya: Ketika Cinta Menunjukkan Wajahnya (2017), dan mengikuti berbagai antologi bersama, Puisi, Gurit dan Cerpen/Cerkak, di antaranya: Kumpulan gurit Wanodya (2017), Wanodya (2018), (2019), Sakwijining Wektu Mengko (2019), Omah, 25 penulis terpilih Sayembara Nulis Geguritan (2020), Negeri Laut (Dari Negeri Poci 6/2015), Negeri Awan (Dari Negeri Poci 7/2017), Negeri Bahari (Dari Negeri Poci 8/2018), Negeri Pesisiran (Dari Negeri Poci 9/2019), Kepada Hujan di Bulan Purnama (2018), Membaca Hujan di Bulan Purnama (2019), Gambang Semarang (2020), Sang Acarya (2021), Kumpulan Cerpen Semarangku-Semarangmu (2019), Rumah Nin (2019), Firdaus yang Hilang (2020) dan Pijar Napas September (2020).

Category
Tags

One response

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

×