Di Kota Yang Membesarkanmu
;Sumenep
Di kota yang membesarkanmu
Senja begitu anggun
Memuliakan hari-hari
Begitu pun hujan, membaca mantra pada ranting halaman
Dan biarlah, pintu di setiap rumahmu
Selalu terbuka
Biar sepasang matamu bersedekap malam
bintang serta rembulan
Menghiasi sebuah jalan
Di Kota yang membesarkanmu
Sunyi dan kesendirian
Merambat hari dan malam
Giliyang, 2020
Kitab Masa Lalu
Sesekali diamkan diri
Waktu dibesarkan dengan seorang ibu
Kita dibiasakan dengan mereka yang meminang kasih sayang
Dibelainya masa kekanak-kanakan
Setelah menaiki tangga usia
Segala kesedihan simpanlah di kantung masa lalu
Agar tak ada yang menyentuhnya ia kembali
Atau tanamlah dengan rasa sesal
Sebagai seorang manusiawi yang sadar
Kita hanya bermukim
Bukan berumah
Kita hanya menaruh diri
Bukan untuk berfoya-foya di dunia ini
Sebab yang abadi adalah surgawi
Giliyang, 2020
Merangkai Kenangan
Sesekali lemparkan senyum
Agar kami menaruhnya di pipi purnama
Separuhnya lagi kami jadikan sebagai catatan
Sebab cinta bukan sekedar ucapan
Seperti diamku
Malam perlahan sembunyi di kelopak mata
Sedang engkau tengah sibuk menyalakan lilin di meja tidurku
Sebab sebentar lagi, rumahku akan petang
Dengan berbagai luka yang bermalam
:Mengaliri segala ruang
Dan kami telah lupa tempat jalan pulang
Sebab luka terus memanjang
Giliyang, 2020
Melayu, Semesta Puisi
Mari berjalan
Sebelum diksi-diksiku dihanyut gelombang
Karena puisi adalah tempat jalan pulang
Tempat berdialog segala ruang
Menuntaskan segala waktu yang petualang
Jika nanti
Puisiku benar-benar abadi
Dalam bait puisi ini
Kutulis nama Melayu semesta puisi
Jika aku selesai menulisnya
Mari mengaji bersama-sama
Untuk memfasihkan huruf-huruf didalamnya
Agar puisiku atau puisimu
Benar-benar abadi dalam segala mimpi
Giliyang, 2020
Setelah Kepergian Ayah
Malam ini aku di rumah
Melelapkan segala resah
Kepintu-pintu waktu
Yang menjamu rindu
Sekarang aku tidak punya siapa-siapa
Selain dengan harap yang dihabiskan air mata
Selain dengan duka yang menyelimut di dada
Rumahku kembali sunyi
Setelah kepergiannya menutup mimpi
Hingga rindu yang menyala
Menutup waktu penghabis usianya
Malam pertama setelah kepergiannya
Hanya bau kemenyan
Menemani segala sepi yang bersemayam
Sementara gigil waktu
Terus bercumbu pada pesakitan
Giliyang, 04 Februari 2020
Rahem, kelahiran Sumenep 20 April 1999, Alumni Miftahul Ulum Bancamara Giliyang dan Nasy’atul Muta’allimin Gapura Timur Gapura Sumenep. Semasa di sekolah aktif di Komunitas ASAP (Anak Sastra Pesantren) dan Sanggar Relaxa. Saat ini aktif di Kelas Puisi Bekasi dan Competer Madura. Beberapa puisinya dimuat di media massa dan antologi bersama, di antaranya : Antologi Gus Punk (Pelataran Sastra Kaliwungu 2018), Sahabat (2018) Surat Berdarah diantara Gelas Retak (2019), Tanah Air Beta (2019), Jazirah II (Festival Sastra Internasional Gunung Bintan 2019), Antologi Membaca Asap (2019) Antologi Puisi untuk Bj. Habibie (2019) Ketika Tanpa Aku (Group Setrafara 2019), Cinta Karena Cinta (2019), Antologi Pringsewu (2020), Koran Radar Madura, Radar Cirebon, Bangka Pos, Bali Post, Rakyat Sultra, Malang Post, Tanjungpinang Post, Medan Post, Mbludus, Berita baru dan Trevesia.
No responses yet