Sepucuk Surat
Sepucuk surat
yang lupa terkirim
terselip di lipatan baju
dalam lemari.
Suatu malam
sepucuk surat itu
mencari penulisnya
di antara kertas-kertas
tumpukan buku
gudang tua.
Menjelang pagi
sepucuk surat itu
menemukan penulisnya
tergeletak tak berdaya
di timbunan kata-kata.
Sepucuk surat
karena kecewa
menyelipkan kembali
dirinya di lemari.
Sepucuk surat
yang sakit hati
memilih mati
bunuh diri.
2019
Sia-Sia Menunggu Malam
Sia-sia menunggu malam
karena ia tak akan datang
sendiri. Sejak petang
angin dan hujan
sudah sepakat
untuk menemaninya.
Jadi, lupakan saja
tentang menunggu malam
karena kau tak akan bisa
berbincang, berbagi cerita
apalagi bercanda
dengannya.
Sia-sia menunggu malam
karena kau hanya didera
dingin yang membeku
di rasamu.
Sia-sia menunggu malam
kalau kau hanya mau
melepas rindu.
2019
Pada Suatu Waktu
Pada suatu waktu
yang kau sendiri
lupa, waktu
berada di mana.
Seperti jam,
waktu bergerak cepat.
Saat kau mengingatnya
ia telah berlalu
secepat kilat.
Pada suatu waktu
yang kau tak lagi
mampu membaca
rahasia dan makna,
pasti limbung mencari
tempat bertanya.
Pada suatu waktu
ketika kau mulai berpikir
saatnya berbenah diri
untuk kembali.
2019
Jalan Berkelok
Di depanmu
ada banyak jalan
yang bisa kaupilih
untuk melangkah
ke jalan pulang.
Kalau tak suka jalan lurus
masih ada jalan berkelok
membentangkan senyap
walau berbatu
bertabur rindu.
Di depanmu juga
ada banyak jalan
yang bisa membuat
langkahmu terjerembab
hilang daya
2019
Suara
Ada suara
memanggil-manggil namamu
yang kausimpan.
Tapi kaulupa
di lemari mana
nama itu kauletakkan.
Kau pun tak ingat
kalau menyimpan lemari
di dalam hati.
2019
Sutirman Eka Ardhana, lahir di Bengkalis, Riau, 27 September 1952. Karya buku kumpulan puisinya Risau (Pabrik tulisan, 1976), Emas Kawin (Renas, 1979), Malioboro 2057 (Interlude, 2016) dan Bunga Orang-orang Kalah (Tonggak Pustaka, 2019). Puisi-puisinya juga terhimpun pada sejumlah antologi puisi di antaranya Tugu, Merapi Gugat (2011), Kitab Radja-Ratoe Alit (2011), Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia (2012), Suara-suara Yang Terpinggirkan (2012), Dari Negeri Poci 4 – Negeri Abal-Abal (2013), Dari Negeri Poci 5 – Negeri Langit (2014), Dari Negeri Poci 6 – Negeri Laut (2015), Semesta Wayang (2015), dan Gondomanan 15 (2016), Dari Negeri Poci 7 Negeri Awan (2017), Dari Negeri Poci 8 Negeri Bahari (2018), antologi geguritan Weling Sinangling (Dinas Kebudayaan DIY, 2018), Dari Negeri Poci 9 Negeri Pesisiran (2019), Membaca Hujan di Bulan Purnama (Tembi Rumah Budaya, 2019). Tinggal di Yogya sejak 1972.
No responses yet