Pemberontakan di De Seven Propincien

Pemberontakan Kelasi Indonesia di Kapal Perang De Zeven Provincien

De Zeven Provincien adalah kapal perang Belanda buatan tahun 1908 dan mulai digunakan pada tahun 1910. Kapal ini berbobot 6.530 ton, panjang 101,5 meter dan lebar 17,10 meter. Sampai tahun 1933 telah  mengalami dua kali perbaikan besar-besaran, yaitu pada tahun 1919 dan 1920.

De Seven Provincien dilengkapi persenjataan berat, bahkan meriamnya terberat di Hindia Belanda. Namun ketepatan tembaknya tak seberapa karena panel bidik yang buruk, serta tidak dilengkapi penangkis serangan udara. Kapal berkecepatan sedang ini digunakan sebagai kapal latih. Para pelaut pribumi praktik di De Zeven Provincien setelah menempuh Pendidikan Dasar Pelaut Pribumi (Kwekkschool voor Inlandse Schepelingen/KIS) di Makasar.

De Zeven Provincien mendapat julukan kapal hukuman (walau secara formal tidak tepat), karena beberapa perwira atau kelasi yang melakukan indisipliner atau kurang cakap ditempatkan di sini. Di kapal ini mereka diberi kesempatan untuk memperbaiki diri.

Pada 2 Januari 1933 De Zeven Provincien berlayar dari Surabaya menuju Sumatera dalam rangka pelayaran latihan dan juga unjuk kekuatan. Pada awal pelayaran, komandan kapal P Eikenboom berpendapat bahwa suasana baik dan ia bertindak sebagaimana mestinya. Sepanjang perjalanan sampai di dermaga Olehleh, dekat Kota Raja (Banda Aceh) Jumat 3 Februari 1933 tidak terjadi masalah yang berarti. Kalaupun ada hanya masalah yang dianggap kecil seperti menu makanan.

Saat-saat tersebut krisis ekonomi dunia sedang melanda. Untuk menyelamatkan perekonomian, pemerintah Hindia Belanda melakukan berbagai tindakan, salah satunya pemotongan gaji. Tak terkecuali juga bagi para kelasi/awak kapal. Pemotongan ini tentu saja menimbulkan berbagai reaksi. Salah satunya adalah pemogokan yang dilakukan kelasi-kelasi di daerah Surabaya.

Kelasi-kelasi (pribumi) di De Zeven Provincien juga merencanakan pemogokan dan berencana menguasai kapal. Rencana ini dijalankan saat komandan kapal sedang berada di darat. Pelopor aksi ini terutama Paradja dan Kawilarang. Dari kelasi kulit putih ada Bosart. Malam tanggal 4 Februari 1933, saat komandan kapal dan beberapa perwira sedang di darat,  rencana dijalankan. Kapal berhasil dikuasai dan dijalankan pulang kembali ke Surabaya. Eikenboom dan beberapa  perwira lain berusaha menyusul dengan kapal lain dan meminta untuk diizinkan naik De zeven Provincien, tetapi ditolak.

Sekalipun kapal dikuasai oleh kelasi-kelasi pribumi, tetapi rutinitas tetap berjalan normal. Apel tetap ada dan bendera Belanda tetap berkibar, bahkan para perwira (Belanda) dilayani seperti biasa. Sehari sebelum merapat komandan dan perwira yang lain akan memperoleh kehormatan kembali, serta komando kapal akan diserahkan. Tetapi pemerintah Hindia Belanda tidak bersedia menerima semua penjelasan tersebut.

Pada tanggal 10 Februari 1933 De zeven Provincien dijatuhi bom saat  berada Selat Sunda.  Bom jatuh dekat anjungan dan langsung meledak. Korban tewas ada 19 orang (3 Eropa, 16 pribumi termasuk Paradja dan beberapa pemuka pemberontak). Sebanyak 11 orang luka berat (3 orang Eropa, 8 pribumi—4 orang kemudian tidak tertolong), dan 7 luka ringan (2 Eropa, 5 pribumi). Langsung saja bendera dan kain putih dikibarkan.

De Zeven Provincien dengan sisa kekuatannya berlayar menuju Pulau Onrust. Di sana semua tahanan dimasukkan gedung karantina dan dilakukan penyelidikan tahap awal. Korban tewas dimakamkan di Pulau Kerkohof untuk kelasi pribumi, sedang kelasi Eropa di pulau Purmerend.

Pemberontakan tersebut dapat dikatakan ‘hanya’ sebagai protes sosial. Protes sosial terjadi untuk menentang pengurangan gaji yang tidak adil (pribumi mendapat potongan lebih banyak daripada Eropa) dan solidaritas terhadap penahanan angota marinir di Surabaya. Alasan-alasan lain seperti perlakuan yang berbeda dengan kelasi Eropa  (makanan, gaji yang berbeda dengan pangkat dan jabatan sama, fasilitas) juga ikut menjadi pemicu.

Gagasan tentang kemerdekaan nasional (yang mereka dapatkan dari membaca majalah, surat kabar atapun interaksi langsung), sedikit banyak ikut berperan untuk mengobarkan keberanian bertindak. Apa yang mereka lakukan (walaupun harus ‘dibayar’ mahal) adalah bukti mereka mampu menguncang kehidupan orang Eropa yang selama itu selalu tampil superior.

Judul: De Zeven Provincien. Ketika Kelasi Indonesia Berontak (1933)
Penulis: J.C.H. Blom, E. Touwen Bouwsma
Pengantar: Taufik Abdullah
Penerbit: LIPI Press, 2015, Jakarta
Bahasa: Indonesia
Jumlah halaman: xix + 112

Koleksi Perpustakaan Tembi Rumah Budaya

Tags

No responses yet

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *

    ×