Perihal Puisi Para Perantau
puisi lahir dari tidur malam yang panjang
setelah menghidangkan doa pada Tuhan–berharap
pagi menyediakan sarapan gratis
embun begitu mesra menyambut matahari lusuh
merebak hangat napas air mata surgawi
sebelum puisi benar-benar sempurna
dalam mimpi tanah yang tabah–menunggu
adalah kisah cinta bagi perindu keabadian
sebelum kekal di nyanyian baka
sebab sepanjang ingin tak pernah pulang
Bekasi, 6 Februari 2021
Perempuan yang Tinggal di Kemarau Kota Singgah
sebab kering tanah melahirkan sunyi pada malam
dalam kemilau yang menjanjikan hidup tujuh purnama
dalam cahaya rembulan yang dihentikan lampu jalanan
ketika fajar belum menyerupai perempuan pagi
padahal, lelap telah bangkit dari igauan malam
setelah sejenak meriwayatkan kota singgah
dalam satu atau dua kisah di sepanjang
penantian kemarau: entah sampai kapan
adalah kegelisahan yang pecah di mata
merawat dengan cinta dan air mata
untuk sekadar mengenang sebuah nama;
betapa tangguh perempuan mencari surga
ia seorang pengembara–pencari hidup
meski hanya sekadar singgah antar kota
sebab doa-doanya selalu memuja yang ditinggal
juga tanah yang dijejaki sebelum tumbang
kesetiaan selalu ditafsirkan dengan tempat tinggal
yang redup dari perjumpaan senyum tanah
atau kebersamaan di satu riwayat tawa
sebelum benar-benar tiada
Bekasi, 11 Februari 2021
Bendera di Tanah Rantau
yang berkibar dengan sahaja
di dada seorang perantau
ketika rindu senantiasa memberi sunyi
adalah doa yang menjadi bendera
bagi sebuah harap–ingin dituntaskan
tanah ini selalu meriwayatkan kehidupan
di tubuh-tubuh tanpa petaka dalam sunyi
dan masih tetap berkibar di dada–penuh harap
Bekasi, 17 Februari 2021
Merdeka Sehari di Tanah tak Merdeka
sepi meriwayatkan luka
yang sesekali disembunyikan
pada suara berupa-rupa
sambil menyimpan gelisah
dalam tanya:
kapan pulang?
tanah kota ini
tak memerdekakan jiwa
meski bendera kemerdekaan
berkibar, sehari saja
dan tangis lebih luka
dari sekadar kepingan yang dipulangkan
adalah tangis tanpa isakan sebuah rindu
ketika tanah ini menggelar basah bagi malam
dengan denyut waktu yang memekik: merdeka
ah, biar sehari dan perut masih menjadi khayal
untuk mencari nasib pulang dari rantau
dan merayakan kemerdekaan yang hanya sehari
Bekasi, 19 Februari 2021
Riwayat Perantauan
di rerimbun sunyi pohon pisang
tersimpan rindu yang menghangatkan tubuh
saat sendu mengibai nasib–ingin pulang
ada yang terlepas pada tanah-tanah basah
setelah semalaman diguyur hujan
bersama kenangan yang melintasi memori
sebuah tanya yang meniadakan hakikat harap
dalam nestapa yang meriwayatkan malam
pada daun-daun pohon nangka
bila terlepas sebuah hikayat dari rubuhku
meneduhkan wajah-wajah tua dari hujan
tanpa pohon pisang
sebab sudah tak ada
Bekasi, 24 Februari 2021
LY. Misnoto lahir di Pulau Giliraja, Sumenep, Jawa Timur, yang saat ini merantau ke Kota Bekasi. Alumni MTs. Darul Ulum, Banmaleng, Giliraja dan PP. Nurul Islam, Karangcempaka, Bluto. Ia melanjutkan pendidikan di Universitas Terbuka UPBJJ-Jakarta. Sejumlah puisinya dipublikasikan di beberapa media, di antaranya Radar Madura, Harian Ekspres Malaysia, Fajar Makassar, Radar Malang, Radar Cirebon, ideide.id, Sutera.id, dan lainnya. Antologi puisi tunggalnya yang sudah terbit Memori Juli (Vista Publishing, 2018) dan Mayang (Kali Pustaka, 2019).
No responses yet