Buku Jenderal Sudirman

Buku untuk Mengenang Panglima Besar Jenderal Sudirman

Sudirman lahir pada tanggal 24 Januari 1916 di Dukuh Rembang, Desa Bantargebang, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga. Sejak kecil, Sudirman diangkat anak oleh pamannya R. Cokrosunaryo (asisten wedana onderdistrik Bodaskarangjati). Sudirman pada mulanya adalah seorang guru sesuai jenjang pendidikan yang ditempuhnya.

Saat Jepang berkuasa, Sudirman menjadi anggota Jawa Hokokai karesidenan Banyumas. Juga ikut mendirikan Badan Pengurus Makanan Rakyat (BPMR), yaitu suatu organisasi yang berusaha menghindarkan rakyat dari kelaparan. Sudirman mempunyai pengaruh yang sangat besar di kalangan masyarakat dan juga sangat berani menentang kesewenang-wenangan Jepang. Untuk menjauhkan dengan masyarakat, Sudirman ditarik masuk tentara Pembela Tanah Air (PETA).

Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945, kemudian dilakukan pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), pada tanggal 5 Oktober 1945. Kepala staf umum dijabat oleh Urip Sumoharjo. Sudirman diangkat sebagai komandan Divisi V dengan pangkat kolonel, yang membawahi enam resimen masing-masing berkedudukan di Jatiwangi, Tegal, Cirebon, Purworejo, Cilacap dan Purwokerto. Pada bulan Desember 1945 Sudirman terpilih sebagai panglima besar.

Sebagai seorang panglima besar, tugas Sudirman sangat berat. Baik mengatasi masalah-masalah dalam negeri (misal pemberontakan, perselisihan dan pertikaian politik) maupun musuh dari luar negeri (Jepang, Inggris dan Belanda). Sudirman adalah orang yang menentang perundingan-perundingan dengan Belanda, karena Belanda pada akhirnya mengingkari perundingan tersebut.

Ketika Belanda melancarkan agresi militer II, 19 Desember 1948 dan menangkap pemimpin-pemimpin bangsa, Sudirman bersama anak buahnya meninggalkan Kota Yogyakarta untuk bergerilya. Sakit yang diderita dan paru-paru yang tinggal sebelah tidak menyurutkan niatnya.

Medan yang ditempuh sangat sulit, menembus hutan, perbukitan, diterpa panas, dingin maupun hujan. Makan tidak teratur, obat yang kerap habis padahal Sudirman harus minum obat secara teratur. Beruntung bila ada yang berhasil menyusup ke kota dan mendapatkan obat maupun tambahan bahan makanan. Berkali-kali pula keberadaan mereka hampir diketahui Belanda.  Rute yang ditempuh dari Kota Yogyakarta ke arah selatan melalui Bantul, menuju Panggang, Wonosari, Pacitan, Ponorogo. Untuk penyamaran selama bergerilya Sudiman memakai nama Pak Dhe atau Abdullah Lelono Putro.

Sudirman baru turun dari gunung setelah pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949. Itu pun setelah didesak oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan pemimpin-pemimpin lain. Begitu tiba di Yogyakarat Sudirman menemui presiden, kemudian menerima defile tentara sebagai penghormatan.

Mengingat kesehatannya Sudirman kemudian dirawat kembali di Rumah Sakit Panti Rapih. Padahal saat itu akan dilangsungkan konferensi untuk membicarakan penghentian tembak menembak. Untuk memudahkan akhirnya Presiden Sukarno dan Sultan Hamengkubuwana IX menyetujui konferensi diadakan di rumah sakit. Dari Panti Rapih Sudirman diistirahatkan di Magelang agar segera pulih. Tetapi pada tanggal 29 Januari 1950 Sudirman wafat. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki Yogyakarta.

Judul: Mengenang Almarhum Panglima Besar Jenderal Soedirman
Penyusun: Soemarsono
Penerbit: Corps Cacat Veteran Republik Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta, 1997, Yogyakarta
Bahasa: Indonesia
Jumlah halaman: 155 Koleksi Perpustakaan Tembi Rumah Budaya

Tags

No responses yet

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *

    ×