Angkutan Gerobak yang Dulu Begitu Penting Sebagai Alat Transportasi Barang

Gerobak adalah angkutan tradisional yang ditarik oleh sapi. Bisa satu ekor, dua ekor dan dalam kondisi jalan yang sulit (misal tanjakan tinggi) ditarik oleh tiga ekor sapi. Sapi dipilih karena kondisi jalan tanah, di saat musim hujan becek berlumpur dan di musim kemarau panas berdebu.

Roda gerobak terbuat dari kayu yang dilapisi plat besi, cocok dengan kondisi jalan. Lambat laun roda gerobak diganti ban mobil. Selain lebih ringan juga tidak merusak aspal. Gerobak sering dijalankan pada malam hari, melewati jalan yang sunyi dan jauh dari pemukiman. Oleh karena itu seorang sopir gerobak harus bermental tangguh (dhukdheng – Jawa) dan pemberani. Dari sinilah kemudian muncul istilah bajingan, sebutan untuk sopir gerobak.

Pada masa lalu gerobak mempunyai jangkauan rute yang jauh. Misalnya dari Gunungkidul, Bantul, Kulonprogo, Sleman ke kota Yogyakarta atau sebaliknya. Bahkan ada yang sampai Jawa Tengah seperti Magelang, Temanggung, Wonosobo, Solo, Sragen, Purworejo atau sebaliknya. Barang yang diangkut bermacam-macam, semisal hasil bumi atau ternak, perkebunan, material bangunan, barang produksi pabrik (sabun, minyak goreng, kain/pakaian, gula dan lain-lain).

Kecepatan gerobak rata-rata 4 km per jam dan setelah menempuh jarak dan waktu tertentu harus beristirahat. Di tempat peristirahatan yang lebih dikenal dengan istilah koplakan, sopir gerobak dapat  memenuhi kebutuhannya seperti mandi, makan + minum atau pun tidur sejenak. Sapinya juga beristirahat dan untuk kebutuhan pakan sudah ada yang mengurus. Koplakan menjadi arena istirahat, tukar menukar informasi bahkan hiburan.

Angkutan gerobak tersisih bahkan akhirnya ‘hilang’, ketika jalan-jalan semakin bagus dan angkutan jenis lain yang lebih efisien semakin banyak. Seperti motor dan mobil (colt, truk dan lain-lain). Kalaupun saat ini ada upaya untuk ‘menghidupkan’  gerobak lagi, fungsinya sudah berubah. Bukan lagi sebagai sarana angkutan, tetapi merupakan klangenan/hiburan.

Judul: Gerobak di Daerah Istimewa Yogyakarta: Sejarah dan Pelestariannya
Penulis: Darto Harnoko
Penerbit: Dinas Kebudayaan, –, Yogyakarta
Bahasa: Indonesia Jumlah halaman : ii + 53

Tags

No responses yet

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *

    ×