Tari Puisi karya Wisnu Dermawan, foto Indra

Puisi Diguyur Hujan di Bulan Purama

Tari Puisi karya Wisnu Dermawan, foto Indra

Tari Puisi karya Wisnu Dermawan, foto Indra

Hujan yang mengguyur Yogyakarta beberapa hari sebelumnya, sampai Senin malam, tidak kunungh reda. Padahal, Senin 9 Maret 2020 digelar Sastra Bulan Purnama edisi 102, yang diisi peluncuran buku puisi “Batu Ibu’ karya Warih Wisatsana.

Sejak pagi, hujan sudah mulai turun, dan hanya sesekali berhenti, dan matahari memperlihatkan wajahnya. Tetapi, mulai petang sekitar pukul 18.45 hujan kembali turun, bahkan semakin deras dan disertai angin, sehingga di beberapa tempat di wilayah DIY, ada pohon tumbang.

Di tengah hujan deras itu, Sastra Bulan Purnama terus diudarakan, termasuk disiarkan melalui streaming Youtube. Para penggemar sastra, khusnya komunitas Sastra Bulan Purnama, di tengah hujan deras, tidak surut semangatnya. Mereka menerjang hujan untuk menikmati puisi dibacakan. Liek Suyanto, misalnya, seorang aktor teater senior, yang usianya sudah 70 tahun, menerobos hujan, sehingga bajunya basah. Ia memang termasuk rajin datang di Sastra Bulan Purnama, dan beberapakali ikut tampil baca puisi.

Sebelum hujan tiba, sore hari, beberapa orang sudah hadir. Bahkan Joshua Igho penyair dari Magelang, yang akan tampil melagukan puisi karya Warih Wisatsana, sudah hadir sejak sore pukul 16.00, ketika hujan sudah agak  lama reda.

“Saya sengaja datang sore ketika hujan sudah mulai reda, karena saya dari Magelang dan hanya naik motor. Kalau datang malam, takut hujan lebat malah nggak jadi datang,” kata Igho sambil duduk di angkringan Tembi Rumah Budaya.

Warih Wisatsana

Warih Wisatsana

Para pembaca puisi, yang tinggalnya di arah yang berbeda-beda, sudah hadir setelah pukul 19.00,  justru saat hujan mulai deras, dan bebetapa tempat di Bantul, tak jauh dari Tembi Rumah Budaya, listrik mati. Warih Wisatsana, penyair yang bukunya diluncurkan, sebelum pukul 19.00 sudah sampai di Tembi Rumah Budaya.

Pertunjukan diawali pemutaran film, yang dinamakan dance poetry video, ‘City Solitude’, karya Vanesa Martida yang menafsirkan puisi karya Warih Wisatsana. Pemutaran film puisi ini, sebut saja, sekaligus untuk membangun suasana puitik, agar hadirin, di tengah hujan deras bisa menikmati puisi.

Selesai pemutaran film puisi, yang durasinya hanya sekitar 3 menit, Warih Wisatsana tampil membacakan 3 puisi karyanya, yang ada di dalam buku puisi ‘Batu Ibu’. Mungkin karena puisi karyanya, dan kiranya mengenal betul suasana puisi. Penampilannya cukup menarik, dan menunjukkan bahwa Warih sudah terbiasa tampil di panggung.

Pembaca puisi lainnya, setelah penampilan Warih, ialah seorang duta museum DIY dan kebetulan ditugaskan di Bantul, Daniella namanya. Penampilannya sekaligus untuk menyampaikan pesan bahwa duta museum perlu sering menyapa publik, sekaligus mengenalkan museum kepada publik yang lebih luas.

Dua sejoli suami istri, Yuli Rukmi dan Kabul, duet membacakan puisi berjudul ‘Sehari Saja Bebas’. Keduanya membaca puisi saling bergantian setiap satu baris puisi, dan pada alinea terakhir keduanya membaca puisi bersama. Kentik, menyusul membaca puisi berjudul ‘Ode Hari ini”.

“Wah, kali ini saya betul-betul grogi membaca puisi di hadapan penyair,” ujar Kentik.

Joshua Igho, penyair dari Magelang, foto Indra

Joshua Igho, penyair dari Magelang, foto Indra

Nurul Indarti, dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM, lagi-lagi tampil membaca puisi di Sastra Bulan Purnama. Mungkin sudah terbiasa mengajar di depan kelas dan memberi seminar di banyak tempat, terlihat sekali penampilan Nurul sangat tenang, dan menjiwai puisi yang dibacakan, sehingga puisinya terasa hidup.

Aurelia Theresia, yang membacakan puisi berjudul ‘Kaki Candi’, terlihat agak grogi, tetapi dia membaca puisi dengan cukup baik. Mungkin karena agak ragu-ragu, sehingga terasa kurang los dalam membaca puisi.

Ni Made Purnamasari, yang menjabat Kepala Bentara Budaya Yogyakarta, membaca puisi karya Warih dengan mantap, sambil mengenang masa lalu, di masa kecil saat bersentuhan dengan Warih.

Pritt Timothy, foto Indra

Pritt Timothy, foto Indra

Prit Timothy, memang selalu mantap setiap  membaca puisi. Karena dia terbiasa tampil di panggung, termasuk di panggung film,  membuat Prit menguasai panggung, dan menyelami puisi yang dibacakan, sehingga dengan ringan dan rileks, puisi yang dibacakan terasa enak untuk didengarkan.

Puisi karya Warih Wisatsana memang tidak hanya dibacakan, tetapi juga dilagukan oleh Joshua Igho, seorang penyair dari Magelang, yang memang mempunyai spesialisasi mengolah puisi menjadi lagu.

Selain dilagukan, puisi berjudul ‘Kaki Merapi’ karya Warih, ditafsirkan oleh Wisnu Dermawan, seorang mahasiswa S2 ISI Yogya, dalam bentuk tarian. Wisnu sebagai koregrafernya dan ditarikan oleh Mukhlis dan Marentine serta petikan gitar sebagai ilustrasi musik oleh Ricky O Hermansyah.

Garapan tari puisi karya Wisnu menghidupkan puisi Warih, sehingga puisinya memiliki dimensi lain.

Category
Tags

No responses yet

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *

    ×