Di Tembi Aku Membaca Puisi
di tembi aku membaca puisi
tentang kemarin, lusa dan hari-hari yang silih berganti
meski ‘ku tak mengingini sesuatu terjadi
mengapa waktu berlalu tak mau sedetik pun berhenti
aku memaksa diri tuk memahami ‘tuk mengerti
di tembi aku membaca puisi
saat bulan temaram dan bayang-bayang menyeram
kueja kata demi kata mata demi mata yang hilang ditelan kelam
mencari makna di balik siang dan malam
yang dicabik-cabik rindu dan dendam
di tembi aku belajar menari puisi
meliuk-liuk meniti menyelam makna dalam malam sunyi
menuju wiraga wirama wirasa menuju greget, sengguh ra mingkuh
namun tak pernah sampai jalan yang kutempuh
lantaran hati terlalu rapuh
di tembi aku belajar bernyanyi puisi
melantunkan tembang-tembang sumbang
berburu mencari arah kiblat yang hilang
namun sosok itu tak pernah terpegang
di tembi aku melukis puisi
menggoreskan warna-warni kehidupan hakiki
sendiri di malam sunyi
tak bertepi
Unusa Surabaya, 18 Juli 2019
Aku Jiwa Yang Kalah
aku telah banyak menderita sebab aku adalah pelita kecil kehabisan minyak. keringat mengucur diperas dan terperas oleh penderitaan yang tak pernah tuntas. lihatlah tulang belulangku yang menonjol tak seusap pun daging menempel di tulang tlah terkelupas. sebab perutku sering kosong oleh karena itu tubuhku mirip jerangkong karena kenyang oleh janji-janji bohong
aku telah banyak menderita lantaran aku pribumi dengan otak tumpul karatan yang hanya bertumpu pada ratu adil . nenek moyangku kulit berwarna yang juga haus darah bangsa suka menjilat ludah, menghisap darah, dan pura-pura tak serakah, sering memberi sedekah tapi bukan dari hartanya yang melimpah sebab uang sesen di sakuku pun dijamah tak pernah merasa bersalah
aku telah banyak menderita di manakah ada sejengkal tanah untuk berpijak agar tak goyah ketika kakiku menapak lemah saat tubuhku yang kurus kering terserang wabah dan hati semakin gelisah tapi berusaha tetap tabah. biarkan aku terkulai tak usah kaupapah teruskan nafsumu dengan sumpah serapah
aku telah banyak menderita tapi aku tak menyerah meski bercucuran keringat darah semua milikku telah kau jarah tapi aku tak gelisah aku terima semua musibah dengan hati lapang dan pasrah aku hidup di bumi yang gemah ripah tapi tak pernah dapat jatah karna semua milikku telah kaubeslah. aku telah banyak menderita parah aku jiwa yang kalah
Surabaya, 2 Agustus 2018
Rara Oyi
“dinda rara oyi…
mari duduklah di pangkuan kanda tercinta”
maka dibopongnya prawan sunti
yang tengah mabuk asmara itu oleh putra mahkota
dan gadis mungil itu pasrah dalam dekapan cinta
dalam belaian pangeran perkasa
rara oyi pun pasrah
rara oyi tak membantah
dalam birahi yang membuncah
dada pangeran pun bergetar
bau harum tubuh perawan sunti membuat hati gemetar
namun kembali terngiang titah paduka yang menggelegar
“kau pilih wanita apa negara, jangan ingkar”
“dinda rara oyi….”
Rara Oyi melenguh manja di pangkuan putera mahkota
sang pangeran pun melanjutkan berkata
“tersebab aku memilih negara, bukan wanita, adindaku sayang,
maafkan kakanda…!,”
tiba-tiba sang pangeran menghunus kerisnya,
dihunjamkan pada dada rara oyi
darah muncrat membasahi dodot pangeran
tak ada jeritan tak ada lenguh kesakitan
gadis malang itu menatap hampa sang pangeran
surabaya pun berduka alang kepalang
tragedi babad tanah jawi kembali berulang
Di Hadapan-MU
di hadapan-Mu aku hanyalah setitik air
di tengah samudra
tapi aku mencoba memenuhi fitrah-Mu
menghijaukan daun-daun
terbakar matahari
membasahi tenggorokan kering kehausan
di hadapan-Mu aku sebiji pasir
di tengah hamparan padang
tapi aku berusaha ikut
menegakkan gedung pencakar
di hadapan-Mu
aku seekor semut
yang tak lelah lelah
memenuhi kodrat-Mu
sebagai semut
Unusa, feb 2020
Suharmono K menulis karya sastra dalam bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia. Dua kali ia mendapat hadiah sastra Rancage dari novelnya berbahasa Jawa yang berjudul Pupus kang Pepes, dan kumpulan cerita pendek berbahasa Jawa Kakang Kawah Adhi Ari-Ari. Puisi-puisinya dimuat dalam beberapa antologi bersama. Ia juga pernah mendapat penghargaan dari Gubernur Jawa Timur. Novelnya yang telah terbit Pupus kang Pepes (berbahasa Jawa) dan Den Bagus (berbahasa Indonesia juara harapan lomba novel DKJ 1980). Setelah pensiun dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa) kini menjadi dosen tetap di Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa).
No responses yet