Ajip Rosidi

In Memoriam: Ajip Rosidi, Lukisan dan Perpustakaan

Kita tahu,  Ajip Rosidi dikenal sebagai sastrawan, yang menulis banyak karya sastra. Ia menulis puisi, cerpen, novel, naskah drama. Ajip (baca: ayip) juga menulis obituari untuk mengenang teman-temannya yang telah tiada.

Buku itu diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia, yang diberi judul ‘Mengenang Hidup Orang Lain’, cetakan pertama Januari 2010, jadi sudah 10 tahun buku tersebut terbit. Ajip Rosidi lahir 31 Januari 1938, meninggal Kamis 29 Juli 2020. Dalam usia 82 tahun.

Saya tidak lagi ingat, tahun berapa mengunjungi Ajip Rosidi di rumahnya di Pabelan, kira-kira tahun 2001. Saya menemani Doktor Jefrey Hadler dari Berkeley, yang ingin bertemu Ajip Rosidi, bersama Nuranto, pemilik Tembi Rumah Budaya, teman dari Jefry. Tidak terlalu susah mencari rumah Ajip Rosidi di Magelang, apalagi kalau langsung menuju Pondok Pesantren Pabelan, pasti akan langsung di antar ke rumah Ajip Rosidi.

Perpustakaan Ajip Rosidi, foto Odhi

Perpustakaan Ajip Rosidi, foto Odhi

Ajip belum lama menempati rumahnya di Magelang, dan masih bolak-balik ke Jakarta, Bandung dan Magelang. Oleh Ajip, saya bertiga diajak ke satu bangunan yang akan dijadikan sebagai perpustakaan dan ruang galeri untuk memajang lukisan koleksinya. Ruang perpustakaannya belum tertata, masih banyak buku di dalam kardus dan lukisannya juga masih banyak yang di dalam bungkusan, meskipun beberapa sudah ada yang dipasang.

Koleksi bukunya banyak sekali, ribuan. Waktu itu Ajip menyebutnya di atas 15.000 buku, dan sekarang tentu sudah lebih dari 23.000. Selain buku, koleksi lukisannya juga banyak. Saya tidak ingat karya siapa saja lukisan koleksinya. Salah satu lukisan yang saya ingat, dan jumlahnya tidak sedikit adalah karya Nashar.

“Pak Ajip, banyak punya lukisan karya Nashar?” tanya saya.

“Oh, itu punya cerita, soal lukisan itu,” ujar Ajip Rosidi.

Sebagian koleksi buku perpustakaan Ajip Rosidi, foto Odhi

Sebagian koleksi buku perpustakaan Ajip Rosidi, foto Odhi

Lalu Ajip Rosidi menceritakan kenapa memiliki lukisan karya Nashar, yang jumlahnya tidak sedikit. Diceritakan oleh Ajip, ketika dia masih di Jepang, dan mempunyai cukup uang, dia ingat sahabatnya Nashar, seorang pelukis.  Sebagai teman, Ajip merasa perlu membantu sahabatnya agar terus berkarya, jangan sampai berhenti karena persoalan ekonomi melilitnya.

Ajip memberi bantuan kebutuhan hidup Nashar setiap bulan, supaya ia bisa terus berkarya. Seperti harapan Ajip, Nashar kemudian terus berkarya, bahkan mungkin bisa dikatakan produktif, dan setiap kali dia melukis, dari banyak yang dihasilkan, selalu disisihkan satu untuk Ajip.

“Saya selalu diberi satu karya setiap kali Nashar menghasilkan karya lukis,” kata Ajip Rosidi.

Kali kedua, tahunnya juga lupa, saya  mengunjungi rumah Ajip Rosidi bersama teman dari KPG, Candra Gautama, dan teman lain pengajar Fisip Atma Jaya, Yogyakarta, Bambang Kusuma Prihandono. Oleh Ajip, kita diajak ke saungnya, yang letaknya beberapa ratus meter dari rumahnya, yang dikelola istrinya.

Setiap kali bertemu Ajip, ia selalu akrab, dan tidak membuat jarak dengan tamunya, meskipun usianya lebih muda, dan Ajip mau mendengarkan cerita anak muda. Ia tidak mendominasi cerita.

Saya tidak ingat tahun berapa, dan secara kebetulan bertemu Ajip Rosidi di toko buku Toga Mas, Kotabaru, Yogyakarta. Yang mengagumkan dia menyapa duluan, mungkin Ajip yang melihat saya lebih dulu.

“Hai, ketemu lagi kita,” sapa Ajip Rosidi.

Lalu, kami berbincang mengenai banyak buku baru yang ditulis anak-anak muda, yang mungkin nama-nama penulis tidak dikenali oleh Ajip Rosidi.

“Pak Ajip masih rajin membeli buku, ya?” tanyaku

“Selain saya baca, perlu juga untuk menambah perpustakaan,” katanya.

Dari Ajip Rosidi, saya melihat kecintaannya terhadap buku dan lukisan. Dua hal itu, ia banyak koleksi. Rasanya, tidak banyak sastrawan yang  memiliki koleksi lukisan dalam jumlah yang tidak sedikit. Kalau buku, mungkin hal biasa bagi sastrawan. Tetapi mengoleksi lukisan, dan dipajang di ruang perpustakaan, saya rasa, dua karya seni yang penting, sehingga orang yang memasuki perpustakaan Ajip Rosidi sekaligus bisa melihat koleksi lukisannya.

Kini Ajip Rosidi telah pergi ke surga. Tapi karya bukunya, dan koleksi buku serta lukisannya, kiranya masih bisa (terus) dinikmati banyak orang. Jefry Hadler, temannya yang dari Berkeley, sudah lebih dulu tiada. Mungkin keduanya bertemu di surga, meski dari negara yang berbeda. Selamat jalan pak Ajip Rosidi. (*)

Category
Tags

No responses yet

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *

    ×