Toko Buku Liong

Project Toko Buku Liong Melacak Sejarah Komik Indonesia

Sebuah karya kolaboratif oleh Adelina Luft (kurator) dan Daniel Lie (Seniman) mempersembahkan ‘Toko Buku Liong”, karyanya melacak dan mengumpulkan kembali fragmen-fragmen biografi keluarga Lie dan menjelajahi rute alternatif dari sejarah komik Indonesia.

Lewat  Toko Buku Liong komik-komik diproduksi dan dipublikasi  dengan menciptakan arsip afektif yang berada di persimpangan antara politik identitas, struktur kekuasaan, dan agensi kebudayaan pada era pasca kemerdekaan Indonesia.

Dirangkai ke dalam empat jilid yang berurutan mulai dari menyajikan karya seni, esai, dan materi arsip, proyek ini menawarkan rute alternatif dari sejarah arus utama, dan diharapkan lebih jauh menghasilkan percakapan tentang subjektivitas kepengarangan dan peran komik Indonesia dalam pembangunan identitas budaya.

Tiap jilid membahas aspek penelitian sembari membangun pembacaan berurutan mingguan melalui lensa dan program diskusi dari jilid sebelumnya. Jilid pertama (rilis tanggal 4 Agustus 2020) menyajikan penelitian tentang Semarang di era 1950-an melalui ruang fisik bekas Toko Buku Liong, sedangkan jilid kedua (rilis tanggal 11 Agustus memperkenalkan para pendiri dan produser Toko Buku Liong yang bermigrasi ke Brasil pada tahun 1958.

Jilid ketiga (rilis tanggal 18 Agustus) melihat rumah produksi independen dan pencariannya atas identitas budayaJilid terakhir (rilis tanggal 25 Agustus) mengambil fokus pada pembacaan kritis terhadap Wiro, Anak Rimba Indonesia salah satu buku komik Indonesia paling populer.

Jilid pertama, Escombros telah terbit pada selasa, 4 Agustus 2020 di https://tokobukuliong.com/escombros/.  Jilid pertama dimulai dengan refleksi kontekstual dan introspektif dari situs fisik di mana Toko Buku Liong aktif di Kota Lama Semarang, Indonesia, selama tahun 1950-an.

Pencarian kami untuk mengingat kembali sejarah ruang sebelum pemiliknya bermigrasi ke Brasil pada tahun 1958 diperumit oleh ketidaktahuan dari sejarahnya yang terkini dan masa lalu. Saat ini ruang tersebut adalah sebuah konstruksi baja setengah jadi di kota tua Semarang yang diproteksi sebagai kawasan warisan budaya.

Konstruksi “modern” yang menggantung seiring waktu sebagai penanda tindakan agresif penghapusan, atau barangkali tanda kegagalan kita untuk mengingat? Melalui analogi escombros — terjemahan tak sempurna dari kata Portugis untuk reruntuhan atau puing-puing — yang ditinggalkan oleh ruang maupun kenangan terpenggal-penggal dari keluarga Lie, kami memulai pencarian untuk mengumpulkan kepingan-kepingan personal dan historis dari rumah daya kreatif yang tak banyak dikenal itu.

Bagaimana kita bisa menguraikan proses melupakan yang tak terhindarkan, yang rumit oleh lapisan marginalisasi dan penghapusan? Di dalam situasi pandemi saat ini, proyek ini dibangun dalam format daring sebagai cara untuk bereksperimen dengan bentuk-bentuk ekspresi visual hibridisasi (sebagai pameran, publikasi, dan sekaligus karya seni) dan untuk menciptakan aksesibilitas transnasional dan multibahasa.

Biografi

Adelina Luft adalah kurator dan peneliti yang fokus pada seni dan sejarah Indonesia. Ia meraih gelar Sarjana dari program studi Public Relationsthe National University of Political Studies di Bukares (2012) dan MA dari Pengkajian Seni Rupa, Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta (2017). Tugas akhir studi pasca sarjana dan kolaborasinya dengan Jogja Biennale Equator memperluas minatnya pada studi pasca-kolonial, dialog horisontal Selatan, dan perspektif transnasional. Menempati posisi dan identitas yang diberi jeda (hyphenated) dalam ‘pasca’ yang ganda (pascakolonial dan pasca komunis) telah menjadi sumber bagi Adelina Luft untuk secara artistik merefleksikan sejarah transnasional dan berupaya merekonstruksi narasi yang dipinggirkan di dalam politik (re)presentasi. Ia telah tinggal di Yogyakarta selama enam tahun terakhir ini, dimana ia bereksperimen dengan gaya hidup berbasis kolektif dan proses kolaborasi dengan para seniman dan kurator, yang memungkinkan pembentukan subjektivitas baru dan lingkungan non-hirarkis.
 
Daniel Lie adalah seniman Indonesia-Brazil, transperson, lahir di Sao Paulo/ Brazil dan tengah menempuh proses nomaden. Di dalam praktik Daniel Lie, waktu adalah pilar utama refleksi. Sejak ingatan paling lampau dan afektif – menghadirkan kisah keluarga dan personal – hingga waktu bagi hal-hal di dunia; periode masa kehidupan, dan durasi keberadaan elemen.  Melalui instalasi, objek, dan hibridisasi bahasa seni – menggunakan segala sesuatu sebagaimana adanya – karyanya menciptakan jembatan dengan konsep seni performance sebagaimana seni berbasis waktu, kefanaan, dan keberadaan.  Untuk menyoroti tiga hal ini, elemen-elemen yang memiliki waktu terkandung di dalamnya disusun di dalam ruang sebagai instalasi, seperti sesuatu yang membusuk, tanaman yang tumbuh, jamur dan tubuh. Di dalam penelitian karya tersebut, tampilan menghadapi ketegangan dan meruntuhkan pemikiran biner antara sains dan agama, leluhur dan masa ini, kehidupan dan kematian.

Category
Tags

No responses yet

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *

    ×