Sensasi Bertani di Tembi

Pandemi covid-19 yang melanda dunia memaksa orang untuk tinggal di rumah. Segala aktivitas luar ruang terpaksa dihentikan. Setidak-tidaknya jika itu dilakukan harus dengan  protokol kesehatan yang telah ditetapkan. Akibatnya, banyak orang terpaksa menjalani kebiasaan baru. Tidak mudah memang. Terasa mengekang.

Selain itu, tidak ada lagi aktivitas yang melibatkan banyak orang. Dengan demikian, segala macam pentas, pergelaran, perayaan, pawai kesenian dan sejenisnya menjadi tidak ada. Demikian juga urusan pariwisata. Harus berhenti agar tidak terjadi penularan virus yang tidak kelihatan namun sangat berbahaya itu.

Dampak dari semua itu sangat terasa berat sekali. Banyak perusahaan merumahkan karyawannya. Produksi berhenti. Hal demikian memberikan efek domino yang runyam. Tidak aktifnya produksi  mengakibatkan barang dan jasa menjadi minim. Selain itu, banyak karyawan yang tidak lagi bekerja dan kalaupun bekerja dengan upah yang minimal mengakibatkan daya beli turun, bahkan terjun bebas.

Barang dan jasa tidak ada, daya beli pun tidak ada. Semua orang – kecuali yang punya kapital besar – harus mengetatkan ikan pinggang seketat-ketatnya. Gejala stres atau depresi tidak bisa ditutupi.  Mengeluh dan menghujat jelas bukan solusi dan sungguh, tiada guna. Untuk mengisi waktu karena pandemi covid-19 yang menyebabkan orang harus lebih banyak di rumah ini kemudian banyak orang membuat kegiatan sendiri. Ada yang dengan cara gowes, mancing, tiduran dan mainan HP, ada pula yang bercocok tanam.

Kegiatan bercocok tanam di sekian banyak kampung dilakukan dengan berbagai bantuan. Baik dari pemerintah ataupun pihak lain. Bantuan benih dan pupuh dialirkan. Banyak orang tiba-tiba menjadi petani. Di samping untuk membunuh waktu, juga untuk memandirikan diri dalam hal pengadaan bahan pangan. Ternyata bercocok tanam memang dapat memberikan kegembiraan tersendiri. Bukan semata-mata pada saat menuai hasilnya. Akan tetapi lebih pada menikmati prosesnya. Proses mulai benih ditabur, mulai tunas, mulai tumbuh, berbunga, dan berbuah.

Semua proses itu membawa atau memberikan sensasi tersendiri bagi si penanam. Sensasi ini memberikan kegembiraan, yang menyingkirkan gejala strss dan depresi. Mungkin karena itulah banyak petani di desa yang gembira hatinya demi “hanya” melihat tanamannya mulai tumbuh. Bahkan belum berbuah sekalipun. Hal demikian telah dapat menjadikan hiburan bagi dirinya. Hal itu pulalah yang terjadi dengan sebagian pekerja di Tembi. Melihat, mengamati, merawat, dan menuai hasil tanaman yang ditanam seperti membangun harapan sekaligus seperti menabung. Mungkin nilai rupiahnya memang tidak besar, namun sesansinya tidak bisa diukur dengan nominal uang. (*)

Category
Tags

No responses yet

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *

    ×